“ SUKUN “ Guyub Rukun lan Migunani mring Sasami
Oleh Wibowo Ari
Subagio
Sore menuju malam
kurang lebih jam 19.30, dengan cuaca yang cukup bersahabat setelah Gn Merapi
ber erupsi hebat, di sebelah selatan lapangan Joko Puring Klaten utara berlangsung
sarasehan membahas rencana penerbitan sebuah buku berjudul Makna Ungkapan
Bahasa Jawa.
Peserta yang rata rata telah berusia diatas 60 tahun
sebanyak 9 orang itu hadir semua. Sambil menikmati panembrama tuan rumah Pak
Ir.Puji Untung Surarso bernada kinanthi dengan suaranya yang merdu membuat
hadirin hening sejenak mkenikmati makna panembrama tersebut.
Tuan Rumah menyampaikan dalam
tembang Kinanthi yang antara lain menyatakan selamat datang di padepokannya
untuk ber sarasehan sebagaimana pernah dilakukan waktu waktu yang lalu. Di
akhir panembrama itu Pak Untung menyatakan sarasehan itu diharapkan dapat membuat guyub rukun masyarakat serta hasil
yang bermanfaat bagi siapapun. Hal ini di ungkapkan pula dengan cemilan yang
penuh makna yaitu aneka cemilan terbuat dari buah Sukun..Baik di goreng maupun
di godog, buah sukun ternyata sama nikmatnya. Sebuah cara pengungkapan ala Jawa
yang penuh makna.
Malam itu pertemuan mengambil thema membahas
usulan rencana pembuatan buku Makna Ungkapan Bahasa Jawa yang di himpun dan
ditulis oleh Ibu DR Esti. Dalam kata pengantarnya ketika itu bu Esti
menyampaikan, bahwa ungkapan bahasa jawa yang mengandung pitutur luhur (
pelajaran budi pekerti bernilai tinggi ) sudah banyak di tinggalkan oleh
Generasi Muda kita khususnya generasi muda Jawa. Dengan penerbitan buku ini
nanti akan menjadi tanda sejarah bahwa para orang tua yang terwakili dalam
sarasehan ini telah mendarma bhaktikan pemikirannya untuk mengingatkan kembali
nasehat nasehat
(puitutur) para leluhur yang
diharapkan dapat dihayati kembali dan dijadikan landasan moral bagi generasi
muda. Nasehat nasehat merupakan ungkapan berbahasa Jawa dapat di sajikan dalam
bentuk buku yang jarang diterbitkan, akan menjadi bacaan masyarakat yang dapat
membekali masyarakat khususnya kembali kepada budaya dan tradisinya yang
adiluhung.
Membuka sarasehan itu Pak Ir Toegiman
Hadibroto sebagai pangarsa (pimpinan) memberikan tanggapan positif dan
memberikan dukungan. Sejalan dengan maksud di bentuknya sarasehan yang diikuti
oleh 9 orang ini juga mengandung maksud untuk dapat berperan serta dalam
pembangunan karakter masyarakat di Kabupaten Klaten khususnya dan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Ungkapan berbahasa Jawa menurut Pak Toegiman tidak ketinggalan
jaman atau masih sangat relevan
dengan kondisi masyarakat saat ini bahkan harus lebih di kuat kan gaungnya sehingga masyarakat terlebih
generasi mudanya dapat memahami bahasa Jawa dan tradisinya dengan mudah dan
murah.
Pada bagian berikut, dimulai dari Pak Margono
Notopertomo, piyayi yang sering mengisi berbagai acara wayang kulit dan budaya
jawa di berbagai radio memaparkan banyak hal berkaitan dengan makna ungkapan
bahasa dari yang berawalan huruf A sampai dengan yang berawalan huruf W. Cukup banyak materi yang dapat
disumbangkan kepada penulis buku ( Ibu Esti ).
Dalam pembicaraan yang semakin
menarik itu muncul berbagai usulan penyempurnaan diantranya dari Pak Ir. Riyo bahwa
ungkapan bahasa jawa tersebut seyogyanya di awali dengan pengungkapan dalam
bahasa Indonesia terlebih dahulu. Menurut Pak Riyo, kemungkinan besar buku ini
tidak hanya beredar di Klaten saja, tetapi juga dimungkinkan beredar di seluruh
wilayah Indonesia .
Dengan menambahkan ungkapan dalam bahasa Indonesia menjadikan buku itu berdaya
tarik tinggi untuk diminati masyarakat luas.
Pak YA.Effendi Slameto sebagai
salah satu pemerhati bahasa Jawa juga menggaris bawahi diterbitkannya buku
berbentuk nasehat dalam bahasa Jawa. Beliau berpandangan saat ini suasana kehidupan
masyarakat yang semakin keras iramanya terkadang meninggalkan rasa sopan santun
dan kehalusan tutur sapa, sehingga memunculkan kehidupan yang keras bak “ Asu
Gedhe Menang Kerahe “ Oleh karena itu penerbitan buku buku yang mengandung
filosofi, nasehat dan tradisi bernuansa kedaerahan khususnya Jawa akan sangat
bermanfaat.
Meskipun tidak bersedia di tampilkan
namanya dalam rencana naskah Profesor Sumitro memberikan usul saran yang
membangun berkaitan dengan rencana penerbitan Buku Unhkapan Makna Bahasa Jawa.
Profesor Sumitro mengakui besarnya tanggung jawab moral dalam upaya penerbitan
buku tersebut, sehingga beliau terpaksa tidak bersedia dicantumkan namanya
sebagai penelaah.
Untuk
memberikan gambaran sebenarnya buku apa yang akan diterbitkan itu berikut ini
disampaikan gambaran ungkapan Bathok Bolu Isi Madu ternyata ungkapannya ternyata tidak
sederhana. Kalau di terjemahkan maknanya ungkapan itu ternyata memiliki nasehat
yang sangat bermanfaat. Makna ungkapan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut : Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti
tempurung bolu (bolongane telu) berisi
madu.
Batok adalah istilah Jawa untuk menamai tempurung kelapa.
Pada masa lalu tempurung kelapa sering digunakan untuk membuat berbagai
perkakas, terutama perkakas dapur. Entah itu untuk dibuat irus (sendok sayur),
siwur (gayung air), beruk (alat untuk menakar beras), mangkuk, maupun celengan.
Pendeknya, batok digunakan untuk membuat alat yang fungsinya lebih pada
menampung, mewadahi, atau menciduk.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, alat-alat yang
terbuat dari batok merupakan alat-alat yang dianggap biasa atau sederhana. Lain
halnya dengan alat-alat yang terbuat dari logam. Melamin, plastik, maupun
keramik. Alat-alat yang disebut terakhir ini dianggap merupakan alat-alat yang
lebih berkelas sosial tinggi atau bergengsi. Batok bolu dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jawa diartikan sebagai batok yang bolong telu (bermata
tiga), sebab pada kenyataannya hampir semua batok atau tempurung kelapa memang
memiliki tiga titik (lekukan sebesar kelereng) di bagian pangkalnya.
Pepatah Jawa di atas terbentuk atas rangkaian kata yang
mengandung makna berkebalikan. Logikanya, batok tidaklah mungkin digunakan
untuk menyimpan barang mewah atau barang berharga. Mustahil juga digunakan
untuk menyimpan madu. Jadi, jika ada batok berisi madu, hal itu adalah
kekecualian yang dalam bahasa Jawa disebut nyolong pethek.
Batok bolu isi madu secara luas ingin menyatakan bahwa
orang yang kelihatannya sederhana atau biasa-biasa saja tetapi ternyata
memiliki kemampuan yang luar biasa atau kaya akan segala pengetahuan dan
keterampilan. Dapat juga terjadi bahwa orang yang buruk rupa serta
berpenampilan apa adanya tetapi tingkah laku dan budi pekertinya sangat mulia.
Inilah yang disebut dengan batok bolu isi madu.
Demikian luhurnya budaya jawa.
Betapa dalamnya makna ungkapan meski nampak kata yang sederhana tetapi
mengandung arti yang sangat dalam terlebih untuk memberikan nasehat agar
seseorang tidak menyombongkan diri, lebih baik sederhana etapi memiliki
pengetahuan atau kekayaan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat di
sekelilingnya. Umgkapan ungkapan sejenis itulah yang rencananya akan dibukukan
sebagai persembahan generasi tua kepada penerusnya. Semoga bermanfaat amiin.
Klaten Nopember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar