Senin, 05 Desember 2011

"Sukun" Guyub Rukun Lan Migunani


“ SUKUN “ Guyub Rukun lan Migunani mring Sasami

Oleh Wibowo Ari Subagio


            Sore menuju malam kurang lebih jam 19.30, dengan cuaca yang cukup bersahabat setelah Gn Merapi ber erupsi hebat, di sebelah selatan lapangan Joko Puring Klaten utara berlangsung sarasehan membahas rencana penerbitan sebuah buku berjudul Makna Ungkapan Bahasa Jawa.
Peserta yang  rata rata telah berusia diatas 60 tahun sebanyak 9 orang itu hadir semua. Sambil menikmati panembrama tuan rumah Pak Ir.Puji Untung Surarso bernada kinanthi dengan suaranya yang merdu membuat hadirin hening sejenak mkenikmati makna panembrama tersebut.
Tuan Rumah menyampaikan dalam tembang Kinanthi yang antara lain menyatakan selamat datang di padepokannya untuk ber sarasehan sebagaimana pernah dilakukan waktu waktu yang lalu. Di akhir panembrama itu Pak Untung menyatakan sarasehan itu diharapkan dapat membuat guyub rukun masyarakat serta hasil yang bermanfaat bagi siapapun. Hal ini di ungkapkan pula dengan cemilan yang penuh makna yaitu aneka cemilan terbuat dari buah Sukun..Baik di goreng maupun di godog, buah sukun ternyata sama nikmatnya. Sebuah cara pengungkapan ala Jawa yang penuh makna.

         Malam itu pertemuan mengambil thema membahas usulan rencana pembuatan buku Makna Ungkapan Bahasa Jawa yang di himpun dan ditulis oleh Ibu DR Esti. Dalam kata pengantarnya ketika itu bu Esti menyampaikan, bahwa ungkapan bahasa jawa yang mengandung pitutur luhur ( pelajaran budi pekerti bernilai tinggi ) sudah banyak di tinggalkan oleh Generasi Muda kita khususnya generasi muda Jawa. Dengan penerbitan buku ini nanti akan menjadi tanda sejarah bahwa para orang tua yang terwakili dalam sarasehan ini telah mendarma bhaktikan pemikirannya untuk mengingatkan kembali nasehat nasehat
(puitutur) para leluhur yang diharapkan dapat dihayati kembali dan dijadikan landasan moral bagi generasi muda. Nasehat nasehat merupakan ungkapan berbahasa Jawa dapat di sajikan dalam bentuk buku yang jarang diterbitkan, akan menjadi bacaan masyarakat yang dapat membekali masyarakat khususnya kembali kepada budaya dan tradisinya yang adiluhung.

         Membuka sarasehan itu Pak Ir Toegiman Hadibroto sebagai pangarsa (pimpinan) memberikan tanggapan positif dan memberikan dukungan. Sejalan dengan maksud di bentuknya sarasehan yang diikuti oleh 9 orang ini juga mengandung maksud untuk dapat berperan serta dalam pembangunan karakter masyarakat di Kabupaten Klaten khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ungkapan berbahasa Jawa menurut Pak Toegiman  tidak ketinggalan jaman  atau masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini bahkan harus lebih di kuat kan gaungnya sehingga masyarakat terlebih generasi mudanya dapat memahami bahasa Jawa dan tradisinya dengan mudah dan murah.

         Pada bagian berikut, dimulai dari Pak Margono Notopertomo, piyayi yang sering mengisi berbagai acara wayang kulit dan budaya jawa di berbagai radio memaparkan banyak hal berkaitan dengan makna ungkapan bahasa dari yang berawalan huruf A sampai dengan yang berawalan huruf  W. Cukup banyak materi yang dapat disumbangkan kepada penulis buku ( Ibu Esti ).
Dalam pembicaraan yang semakin menarik itu muncul berbagai usulan penyempurnaan diantranya dari Pak Ir. Riyo bahwa ungkapan bahasa jawa tersebut seyogyanya di awali dengan pengungkapan dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Menurut Pak Riyo, kemungkinan besar buku ini tidak hanya beredar di Klaten saja, tetapi juga dimungkinkan beredar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan menambahkan ungkapan dalam bahasa Indonesia menjadikan buku itu berdaya tarik tinggi untuk diminati masyarakat luas.
Pak YA.Effendi Slameto sebagai salah satu pemerhati bahasa Jawa juga menggaris bawahi diterbitkannya buku berbentuk nasehat dalam bahasa Jawa. Beliau berpandangan saat ini suasana kehidupan masyarakat yang semakin keras iramanya terkadang meninggalkan rasa sopan santun dan kehalusan tutur sapa, sehingga memunculkan kehidupan yang keras bak “ Asu Gedhe Menang Kerahe “ Oleh karena itu penerbitan buku buku yang mengandung filosofi, nasehat dan tradisi bernuansa kedaerahan khususnya Jawa akan sangat bermanfaat.

         Meskipun tidak bersedia di tampilkan namanya dalam rencana naskah Profesor Sumitro memberikan usul saran yang membangun berkaitan dengan rencana penerbitan Buku Unhkapan Makna Bahasa Jawa. Profesor Sumitro mengakui besarnya tanggung jawab moral dalam upaya penerbitan buku tersebut, sehingga beliau terpaksa tidak bersedia dicantumkan namanya sebagai penelaah.

         Untuk memberikan gambaran sebenarnya buku apa yang akan diterbitkan itu berikut ini disampaikan gambaran ungkapan Bathok Bolu Isi Madu  ternyata ungkapannya ternyata tidak sederhana. Kalau di terjemahkan maknanya ungkapan itu ternyata memiliki nasehat yang sangat bermanfaat. Makna ungkapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :    Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti tempurung  bolu (bolongane telu) berisi madu.

Batok adalah istilah Jawa untuk menamai tempurung kelapa. Pada masa lalu tempurung kelapa sering digunakan untuk membuat berbagai perkakas, terutama perkakas dapur. Entah itu untuk dibuat irus (sendok sayur), siwur (gayung air), beruk (alat untuk menakar beras), mangkuk, maupun celengan. Pendeknya, batok digunakan untuk membuat alat yang fungsinya lebih pada menampung, mewadahi, atau menciduk.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, alat-alat yang terbuat dari batok merupakan alat-alat yang dianggap biasa atau sederhana. Lain halnya dengan alat-alat yang terbuat dari logam. Melamin, plastik, maupun keramik. Alat-alat yang disebut terakhir ini dianggap merupakan alat-alat yang lebih berkelas sosial tinggi atau bergengsi. Batok bolu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa diartikan sebagai batok yang bolong telu (bermata tiga), sebab pada kenyataannya hampir semua batok atau tempurung kelapa memang memiliki tiga titik (lekukan sebesar kelereng) di bagian pangkalnya.

Pepatah Jawa di atas terbentuk atas rangkaian kata yang mengandung makna berkebalikan. Logikanya, batok tidaklah mungkin digunakan untuk menyimpan barang mewah atau barang berharga. Mustahil juga digunakan untuk menyimpan madu. Jadi, jika ada batok berisi madu, hal itu adalah kekecualian yang dalam bahasa Jawa disebut nyolong pethek.

Batok bolu isi madu secara luas ingin menyatakan bahwa orang yang kelihatannya sederhana atau biasa-biasa saja tetapi ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa atau kaya akan segala pengetahuan dan keterampilan. Dapat juga terjadi bahwa orang yang buruk rupa serta berpenampilan apa adanya tetapi tingkah laku dan budi pekertinya sangat mulia. Inilah yang disebut dengan batok bolu isi madu.

Demikian luhurnya budaya jawa. Betapa dalamnya makna ungkapan meski nampak kata yang sederhana tetapi mengandung arti yang sangat dalam terlebih untuk memberikan nasehat agar seseorang tidak menyombongkan diri, lebih baik sederhana etapi memiliki pengetahuan atau kekayaan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya. Umgkapan ungkapan sejenis itulah yang rencananya akan dibukukan sebagai persembahan generasi tua kepada penerusnya. Semoga bermanfaat amiin.
                                                                     
                                                                                                                             Klaten     Nopember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar