Mikul Dhawet Sinambi
Rengeng Rengeng
Atau
Numpak Sedhan Nangis
Nggriyeng
Oleh Wibowo Ari Subagio
“ Paguyuban “ Oncek oncek kawruh sepolo yang
pada awalnya di ilhami oleh ceramah di kalangan wredatama kalangan Pemkab
Klaten yang saat itu mengambil judul tentang Kesehatan Jiwa, ternyata menarik perhatian untuk lebih di
tekuni.
Beberapa pertemuan telah dilakukan. Semula
melibatkan 5 orang yang memotori dimulainya proses oncek oncek ( mengupas )
kawruh ( ilmu pengetahuan ) sepolo ( sederhana ) terdiri dari Pak Ir.
H.A.Tugiman Hadibroto, p.Ir. H.Riyo Darmanto, p.Ir. H. Puji Untung Surarso,
p.Drs.Gatot Lelono dan p.YA.Effendi Slameto, ternyata pada akhirnya telah
berkembang dengan 4 orang lagi pesertanya sehingga menjadi 9 orang yang terdiri
dari kalangan wredatama maupun akademisi
meskipun coraknya adalah individu.
Dalam visinya, paguyuban oncek oncek kawruh
sepolo ini bertekad untuk dapat melanjutkan cita cita pendiri bangsa ini untuk
dapat memberikan bimbingan moral dan pengetahuan sederhana meskipun dalam
lingkup kabupaten Klaten kepada generasi yang akan datang dengan diwujudkan
dalam pengumpulan, penulisan naskah atau
catatan catatan budaya dan ilmu pengetahuanyang telah banyak dilupakan oleh
kalangan muda sekarang, sehingga dapat terkumpul pustaka kawruh sepolo yang
mampu memberikan bimbingan dan wewarah dalam membangun karakter bangsa.
Dari
awalnya telah dimulai dengan memamaparkan berbagai kawruh tentang kebudayaan
ataupun yang lain tetapi masih belum dapat memenuhi hasrat untuk lebih terarah
dalam proses oncek oncek ini, ditandai dengan keinginan para peserta untuk
dapat lebih fokus dalam mengartikan istilah oncek oncek kawruh sepolo tersebut
Menjelang pertemuan yang telah berjalan ke
lima kalinya tepatnya pada tanggal 18 Nopember 2010 mendung diatas kota Klaten saat itu semakin tebal,
kilatan cahaya malam membelah bumi, jam baru menunjukan pukul 8 malam lebih
sedikit. Sebentar lagi ketika Pak Margono Noto Pertomo memulai ”orasinya”
suasana malam segera berubah menjadi hujan cukup deras.
Uraian malam itu cukup menarik perhatian semua
yang hadir mengikuti pertemuan oncek oncek kawruh sepolo yang disampaikan oleh pak Margono. Diawali
dengan mengungkap pertemuan Empat Serangkai Bung Hatta, Bung Karno, Kyai Haji
Mas mansyur dan Ki Hajar Dewantoro saat memperingati Hari Pendidikan Nasional 2
Mei 1961 di Istana Negera jakarta.
” Bung Hatta, sebenarnya saya amat pekewuh
kepada guru saya ” sela Bung Karno mengawali pertemuan itu. ” Siapa Bung ”
sahut Bung Hatta. ” Ini Kangmas Soewardi Soeryaningrat dan Kyai Haji Mas
Mansyur”.
Kyai Haji Mas Mansyur yang menjadi obyek
pembicaraan Bung Karno pun menyahut ” Bung Karno, kami jadi ingat akan pidato
pidato anda. Saudara saudara, kita punya Sultan Agung Hanyokrokusumo, kita
punya Pangeran Diponegoro , Tuanku Imam Bonjol, P.Antasari, P Umar, beliau
beliaunya adalah tokoh tokoh sakti yang tinatah mendat jinoro menter, tan
tedhas tapak paluning pandhe, sisaning gurinda – mengapa gagal ? Tidak mampu
mengenyahkan Belanda dari Nusantara ?.
Bung Karno menjawab ” Kyai Haji Mas Mansyur,
Ki Hajar Dewantoro dan Bung Hatta, menurut pendapat saya berdasar pengalaman,
Belanda tidak dapat dikalahkan oleh perlawanan kedaerahan ( sporadis ). Belanda
tidak mungkin dikalahkan dengan Tombak,
Keris, Pedang, Mandau, Kelewang dan Rencong – tetapi – tombak, keris, pedang,
mandau, kelewang dan rencong harus BERSATU
- satu karya, satu gawe ber Holopis Kuntul Baris – rawe rawe rantas
malang malang putung – hee Kolonialis Belanda – Kekejero kaya manuk branjangan
kopat kapito kaya ula tapak angin keno gebung Limpung Alugoro sirna ilang
kuwandhamu ”.
Ki Hajar Dewantoro segera menyahut ” Betul
kata kata Bung Karno, kalau aku ingat kata kata si Bung, semangatku jadi muda
kembali ibarat aku Wasi Jolodoro jadi Kokrosono lagi he...he...he... Coba
pidato Bung Karno tadi aku sempurnakan, bahwa kolonialis Belanda tidak saja
dilawan dengan senjata, tidak dapat dilawan dengan wuleting kulit atosing
balung, tetapi kolonialis Belanda harus dilawan dengan INTELEKTUAL, Belanda
harus disikat dengan kepandaian pribumi, belanda harus dilawan dengan OTAK Belanda harus dilawan dengan persatuan.
Bung Hatta pun menyahut ” Ya pendapat kalian
semua itu benar, maka lihat Perguruan Taman Siswa, Perguruan Islam di Kayu
Tanam oleh Kyai Haji Mas Mansyur, juga Perguruan ( Madrasah ) Muhammadiyah yang
didirikan Kyai Haji Achmad Dahlan di Yogyakarta juga merupakan persemaian benih
benih yang nantinya akan melahirkan tunas tunas bangsa siap melawan penjajah
dengan Intelektual dan Otak ”.
Bung Karno, Kihajar dan Kyai Haji Mas Mansyur
mengamini dan berdoa semoga Allah Yaa Robbi mengijabahi.
Kyai Haji Mas Mansyur ” Bung berdua aku jadi
teringat kata kata Ki Hajar Dewantoro walaupun aku bukan orang Jawa tetapi aku
selalu ingat pesan pesan Ki Hajar Dewantoro kepada cantriknya ( siswanya )
semboyan Taman Siswa adalah Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani. Sedang kepada cantriknya Ki Hajar Dewantoro selalu merendah
Tindak pundi Raden ? – Pamulangan; Pados Napa Raden ? – kapinteran; Kangge Napa
Raden ? – Panguripan. Kita Hidup layak syaratnya harus Pandai !
Ki Hajar Dewantoro mengajarkan para siswanya
untuk menghadapi zaman yang tidak menentu saat itu dengan pilihan Angger
(Thole) pilih endi ing antarane ” Mikul
Dhawet Sinambi Rengeng-rengeng apa Numpak Sedhan Nangis Ngriyeng ”
Ternyata dialog Empat Serangkai itu merupakan
Fondasi Pilar Jembatan Emas yang akan dibangun anak anak bangsa.
Bung Karno pribadi pernah berkata:
” Saya persoonlijk, saudara saudara merasa bahagia dapat pada waktu saya
muda nglesot pada kakinya Ki Hajar Dewantoro. Saya termasuk pemuda yang bahagia
dapat maguru kepada orang Indonesia yang besar, maguru kepada Kyai Haji Ahmad
Dahlan, maguru kepada DR. E.F.E Douwes Dekker, maguru kepada dr.Cipto
Mangunkusumo, maguru kepada R.M Soewardi Soeryaningrat yang kemudian bernama Ki
Hajar Dewantoro”
( Pidato Bung Karno di Yogyakarta di Pagelaran Kraton Yogyakarta pada
Pengukuhan DR HC Ki Hajar Dewantoro dalam Ilmu dan Kebudayaan oleh Universitas
Gajah Mada tanggal 19 Desember 1956 ).
Dibarengi suara gemerisik hujan yang lebat malam itu pak Margono
melanjurkan uraiannya . Pada zaman clash ke II ( Pendudukan Belanda atas
Yogyakarta ) rumah Ki Hajar Dewantoro ( Majelis Luhur Taman Siswa ) dituduh
sebagai sarang gerilya. Kolonel Van Langen dengan anak buahnya menggrebeg
padepokan maka terjadilah dialog antara Kihajar Dewantoro dengan Kolonel Van Langen.
Kolonel Van Langen : ” Selamat pagi tuan Soewardi Soeryaningrat ”
Ki Hajar Dewantoro : ” Selamat pagi,
terima kasih atas kiriman kado ulang tahunku”
Kolonel Van Lengen menjawab : ” Apa itu kado? Ikke tidak pernah beri kado
kepada tuan”. Ki Hajar menyahut : ”Itu lho teror bom yang dijatuhkan anak buah
tuan untuk melebur Taman Siswa – Taman Siswa biar hancur, Taman Siswa biar
musnah, namun alhamdulillah teror bom itu macet dan sudah kami jinakan,
sekarang kami simpan sebagai memory kami bahwa tentara Belanda tak mengenal
peri kemanusian, tentara tuan teroris biadab”.
Kolonel Van Langen menyatakan ” maaf, sekali lagi maaf tuan Soewardi. Terus
terang kedatangan kami hanya meminta babntuan tuan agar ekstremis – ekstremis
atau gerilyawan suruh menyerah / membubarkan diri, dia bikin ulah, menyerang
kami diwaktu malam, dia keterlaluan, kurang ajar”.
Ki Hajar Dewantoro menyahut :” Tuan Van Langen, tentara kami bukan kurang
ajar. Tentara kami mempertahankan diri karena tuan serang. Tentara tuan ngawur,
setiap pembersihan orang orang sipil tak berdosa tuan tangkap, bahkan tuan
bunuh sekiranya tuan anggap dia ektremis ( gerilya )”.
Kolonel Van Langen : ”Terus terang maaf, maaf jika tuan tersinggung. Saya –
ikke – saya mohon bantuan tuan ”.
Ki Hajar Dewantoro : ” Itu soal mudah, saya akan bantu Tuan, syaratnya tuan
bserta serdadu tuan secepatnya hengkang ( pergi ) dari Yogyakarta, sebab negeri
kami berdaulat. Karena tuan memaksakan kehendak, terpaksa bangsda kami melawan
”.
Kolonel Van Langen dengan sikap sempurna dan senyum dikulum menjabat tangan
Kio Hajar Dewantoro lalu pergi ke Banteng Vandenburg.
Pada bulan Februari 1959 Bung Karno bertemu dengan Ki Hajar Dewantoro,
kemudian Bung Karno sambil medoakan agar Ki Hajar segera sembuh, Bung Karno
juga menyatakan bahwa tenaga dan fikiran Ki Hajar Dewantoro masih di butuhkan
oleh bangsa. Ki Hajar Dewantoro menjawab dengan tersenyum : ” Bung Karno, mungkin
saya tidak lama lagi akan menghadap Allah SWT, hanya pesan saya, jangan
dibiarkan berlarut larut rakyat menderita, bertindaklah lekas ”.
Ternyata pertemuan itu merupakan pesan terakhir Ki Hajar Dewantara, karena
pada tanggal 26 April 1959 pukul 19.30 Ki Hajar Dewantara wafat.
Dari uraian yang disampaikan pak Margono itu ternyata memantik diskusi yang
menarik dari para peserta sarasehan diantaranya yang dapat di rasakan adalah
bahwa para tokoh pendiri era itu ternyata memiliki sikap yang kuat untuk membebaskan
bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Perlawanan terhadap penjajah, tidak
dapat hanya mengandalkan kekuatan fisik, kekuatan bersenjata semata mata ,
tetapi juga kekuatan Intelektual dan Otak.
Menurut Pak Ir.H.A.Tugiman Hadibroto, bahwa semua itu muncul karena Potensi
Diri para tokoh itu begitu kuat sehingga menimbulkan pemikiran pemikiran dan
ide ide yang jenius dalam mengupayakan kemerdekaan bangsa ini. Hal ini tidak
lepas dari kemampuan Potensi Diri dalam mengolah kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosinal dan kecerdasan spiritual.
Meski demikian muncul pertanyaan dari peserta diskusi malam itu yang
terdiri dari 9 orang, mengapa generasi sekarang ini tidak dapat meneladani para
pendahulu bangsa ini, hal ini ditandai dengan rendahnya kepekaan sosial dan
politik para pemimnpin muda saat ini sehingga banyak perilaku yang memperoleh
tanggapan negatif masyarakat ( rakyat ). Seperti contoh kepergian para
Legislator kita berstudi banding ke Luar Negeri yang menimbulkan goncangan
masyarakat yang sekarang ini tengah menderita kegundahan karena merosotnya
moral, ekonomi dan politik.
Prof Sumitro mensinyalir adanya ”
missing link “ antara generasi tua dan generasi penerusnya, sehingga ada budaya
atau sikap mental yang tidak nyambung. Banyak Kawula Muda yang lupa soal dosa,
lupa soal kuwalat dan banyak contoh lainnya.
Demikian pula DR Esti menyentil apakah wewarah Ki Hajar Dewantoro itu masih
relevan dengan kondisi sekarang ini, mengapa pemimpin kita sekarang ini hanya ” diam
” meskipun kedaulatan kita setengah terancam oleh fihak asing. Hal ini nampak
dalam bidang diplomasi luar negeri kita yang lemah bahkan boleh disebut diam (
meneng ).
Meski demikian dengan bergurau Pak Rio menimpali ” meneng iku luhur
wekasane ” tetapi ini adalah sindiran halus ala pak Rio terhadap lemahnya sikap
kita menghadapi fihak asing.
Pak Margono melanjutkan uraiannya bahwa
Ki Hajar Dewantoro dalam petuah petuah
(ajaran ajarannya) menyatakan dalam hidup ini tidak ada yang langgeng atau abadi. Di dunia
ini tidak ada yang sempurna, tidak ada yang abadi. Semuanya mengalami perubahan
( owah gingsir ). Ki Hajar menyatakan:
= DURUNG MENANG YEN
DURUNG WANI KALAH;
= DURUNG UNGGUL
YEN DURUNG WANI ASOR;
= DURUNG GEDHE YEN DURUNG WANI
CILIK.
Kalau manusia sudah pernah
merasakan dan mengalami ketiga piwulang tersebut yaitu MENANG ATAU KALAH, KAYA
ATAU MISKIN , GAGAL ATAU SUKSES maka akan menjadi bijaksana dalam kehidupannya,
welas asih dan sabar serta ihlas dalam menalani kehidupan.
Pak Margono mengutarakan prinsip
prinsip pendidikan yang diciptakan Ki Hajar Dewantoro antara lain :
Ngerti, Ngrasa lan Nglakoni
1.
Ngerti diartikan mengetahui, mengerti persoalan dan
sesuai dengan kondisi.
2.
Ngrasa, bias
merasakan sesuatu benar atau salah, perasaan akan membimbing seseorang mencari
jalan sesuai dengan nuraninya.
3.
Nglakoni,
mampu menjalankan tugas, kehendak berdasarkan ngerti dan ngrasa,.
Prinsip pendidikan Ki Hajar
Dewantoro seluruhnya berintikan pembangunan karakter bangsa, bukan sekedar
membuat orang pandai.
Hujan mereda pertemuan pun di akhiri pada
pukul 22.15 dengan harapan agar niatan membangun karakter bangsa khususnya di
wilayah Kabupaten Klaten ini memproleh ridhlo Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar