Senin, 05 Desember 2011

Air dan Manusia


AIR DAN MANUSIA
Oleh : Wibowo Ari Subagio

Beberapa waktu lalu Paguyuban Oncek oncek Kawruh Sepolo telah melakukan kunjungan wisata di Jipangan Banyudono Boyolali atau lebih di kenal umum sebagai Jipangan Pengging.

      “ Paguyuban “ Oncek oncek kawruh sepolo yang pada awalnya di ilhami oleh ceramah di kalangan wredatama kalangan Pemkab Klaten yang saat itu mengambil judul tentang Kesehatan Jiwa ternyata menarik perhatian untuk lebih di tekuni.
Beberapa pertemuan telah dilakukan. Semula melibatkan 5 orang yang memotori dimulainya proses oncek oncek ( mengupas ) kawruh ( ilmu pengetahuan ) sepolo ( sederhana ) ternyata pada akhirnya telah berkembang dengan 4 orang lagi pesertanya sehingga menjadi 9 orang yang terdiri dari kalangan wredatama maupun  akademisi meskipun coraknya adalah individu.
        Dari awalnya telah dimulai dengan memamaparkan berbagai kawruh tentang kebudayaan ataupun yang lain tetapi masih belum dapat memenuhi hasrat untuk lebih terarah dalam proses oncek oncek ini, ditandai dengan keinginan para peserta untuk dapat lebih fokus dalam mengartikan istilah oncek oncek  kawruh sepolo tersebut

Kunjungan wisata yang lebih dekat dengan wisata ziarah ini mengunjungi berbagai situs, makam dan sumber air yang terkenal dan dikenal oleh masyarakat pada umumnya atau masyarakat Pengging pada khususnya. Salah satu obyek yang dikunjungi adalah sumber air “ Roro Kendat “ dan sumber air Sidomulyo.

Pengging khususnya adalah wilayah kabupaten Boyolali yang cukup banyak memiliki sumber air. Tidak hanya  2 sumber air dimuka, tetapi juga masih banyak lainnya seperti umbul Sungsang, umbul Manten ( maaf kalau salah memnbyebut nama ) yaitu di depan Masjid Pengging, umbul pemandian  Pakubuwono X.

Yang menarik perhatian adalah bahwa umbul atau sumber seumber air tadi banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah dan masyarakat.
Mengapa sumber sumber air di Pengging dan sekitarnya banyak menarik perhatian, pertama karena keberadaan umbul itu memilki riwayat bersejarah. Kedua karena kondisi fisik umbul tersebut bersih dan tgerpelihara dan ketiga secara fisik pemerintah daerahnya memberikan perhatian yang cukup besar dengan memberikan sentuhan pembangunan fisik yang memadai.
Air ternyata sangat dekat dengan kehidupan manusia sejak jaman purba. Sumber air di Pengging itu merupakan suatu bukti kedekatan air dengan manusia. Entah air sebagai salah satu sumber kehidupan ataupun penghidupan, atau air sebagai sarana pertanian dan perkebunan atau bahkan air sebagai salah satu sarana spiriutual ( Yoga Tirta ).
Manusia jawa khususnya yang berada di sekitar Yogyakarta atau Surakarta menggunakan air selain untuk kehidupan sehari hari juga untuk kepentingan laku spiritual. Maka tidak heran jika sumber air yang senantiasa memperoleh sentuhan manusia akan panjang usianya. Tetapi jika sumber air yang jauh dari sentuhan manusia seperti itu maka tidak akan panjang usianya. Sumber air yang di ambil keuntungan hanya untuk kepentingan manusianya saja tanpa memperhatikan kepentingan alamnya maka sumber itu kebanyakan akan cepat mati.
Sementara itu di Umbul Langse di desa Nepen Boyolali yang tidak jauh dari Pengging, pada tahun 2006 bersamaan  gempa tektonis yang dahsyat telah mati. Sumber airnya mati dan umbul Langse menjadi kering. Tetapi dengan laku spiritual tertentu sekarang ( bulan Februari 20011 )  umbul Langse  hidup kembali  dan telah dapat di manfaatkan mengairi sawah seluas sekitar 25 Ha.Sebelumnya umbul Langse ini dapat mengairi sawah sampai ratusan hektar sampai kewilayah Sanggung.
Berkat  laku spiritual  artinya manusia telah mendoakan dan meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa maka sumber air yang telah matipun dapat hidup kembali karena kuasa Allah SWT.
Di sumber sumber air yang kita kunjungi itu kebanyakan mendapatkan sentuhan hangat dari manusia misalnya saja ketika kita mengunjungi umbul “ Roro Kendat”. Tidak hanya sumber air Kendat saja yang memperoleh perhatian, tetapi sumber air atau mata air baru yang banyak muncul di sekitar umbul Kendat mendapat perawatan dan perhatian dari masyarakat seperti misalnya di kurung dengan bis beton dan dijaga kebersihannya. Meskipun dimanfaatkan untuk bertani,  sumber air itu senantiasa bersih dan terus mengalirkan airnya. Sumber  Kendat sendiri ataupun umbul Sidomulyo begitu bersih dan terawat sehingga meskipun telah berusia tua masih mampu mengalirkan airnya.
Bagaimana kita harus menghargai kekayaan alam berupa sumber air ini perlu di tularkan kepada masayarakat di sekitar kita.  Bagaimana manusia berinteraksi dengan air / sumber air perlu difahami oleh masyarakat luas agar air sebagai salah satu sahabat  dan sumber kehidupan manusia  dapat berusia lama dan dapat bermanfaat banyak bagi manusia dalam waktu yang cukup lama.
Masyarakat juga perlu diberikan pemahaman untuk senantiasa memahami alam sekitarnya, melestarikan keseimbangan  alam sekitarnya khususnya yang berkaitan dengan pelestarian sumber air sebagaimana telah dilakukan masyarakat di Pengging dan sekitarnya yang masih menanam tanam tanaman Gayam, Preh dan pepohonan  lain yang dapat menangkap air.
Institut Pertanian Bogor telah menemukan cara cara melestarikan sumber air atau memperoleh sumber marta air baru bahkan meningkatkan volume air tanah dan mengurangi terbuangnya air secara mubadzir dengan teknologi Biopori. Yaitu dengan cara membuat lubang dengan kedalaman sekitar 1 meter dengan diameter 10 cm. Pembuatan lubang biopori ini dengan mata bor  biopori.
Tanah  yang telah dilubangi dengan bor biopori itu kemudian diisi dengan sampah sampah organik yang kemudian akan melahirkan jasad renik yang akan membuat lubang lubang kecil sebagai saluran yang terhubung satu dengan yang lain di dalam tanah yang dapat dijadikan jalan air hujan menembus kedalam tanah dan menjadi deposit air di dalam tanah.
Penelitian yang dilakukan di IPB pada areal yang cukup di Kota Bogor telah mampu menghindarkan terjadinya genangan air. Sementara itu di lokasi yang mudah terkena banjir dengan adanya lubang biopori tersebut menjadi tidak lagi tergenang air karena air terserap dalam tanah. Metoda ini sangat baik dilakukan di sekitar kawasan perkotaan yang lahan pertaniannya telah banyak menyusut karena di alih fungsikan menjadi jalan, rumah atau bangunan lainnya. Sumur resapan yang dalam dapat di gantikan fungsinya dengan lubang biopori tersebut.
Di kabupaten Klaten,  kini tinggal sekitar 100 – 200 sumber mata air yang semula  pada tahun 1960 an jumlahnya  sekitar 500 an mata air. Hal ini menunjukkan bahwa era sekarang ini jumlah mata air di Kabupaten Klaten jauh menurun dan ini kalau dibiarkan terus akan membahayakan kehidupan di wilayah kabupaten Klaten.
Banyaknya peng “exploitasian” sumber air di wilayah klaten tanpa ada imbal balknya kepada alam dan air,  akan sangat memungkinkan sumber/mata air merana dan akhirnya akan mati meninggalkan manusia yang akhirnya kerugianlah yang akan diderita oleh manusia. Demikian pula dengan terbuangnya air hujan akibat banyaknya tanah pertanian yang dialih fungsikan.
Oleh krena itu masyarakat melalui berbagai saluran perlu diajak untuk bijaksana mengelola air, jangan terlalu banyak mengexploitir air tanpa mempedulikan pelestarian alam sekitar. Hal ini tidak luput dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola sumber sumber air di Kabupaten Klaten. Penggunaan methoda lubang biopori sangat tepat bagi masayarakat seperti kabupaten Klaten agar air hujan dapat ditangkap masuk kedalam tanah.
Dr Masaru  Emoto seorang peneliti dari Jepang telah melakukan penelitian terhadap air dan telah mampu mengungkapkan dahsyatnya air baik kemampuan mendengarnya sampai kepada daya kekuatannya yang telah diungkapkan dalam sebuah buku The True Power Of Water.
Demikian pula pengalaman yang kita saksikan pasca erupsi merapi, ternyata air yang mengalir secara liar mampu menunjukkan kekuatannya mengangkat material Gunung Merapi berupa batu batuan besar  pindah dari lokasi di lerengnya menuju Kota Mungkid Kabupaten Magelang berserakan batu batu besar di tengah jalan antara Magelkang Yogyakarta. Dimana kalau kita renungi itu adalah AYAT –AYAT  ALLAH yang perlu mendapatkan perhatian kita semua karena di dalamnya terkandung hikmah.
Diperlukan  usaha untuk bersama sama antara pemerintah daerah dengan masayarakat melakukan  gerakan pelestarian sumber air sebagai salah satu cara “ berterima kasih “ kepada air dan bersyukur kehadirat Allah YME  dengan menggunakan teknologi apapun termasuk teknologi biopori sehingga air bermanfaat,  jika sebaliknya yang terjadi  air menunjukkan kekuatannya menjadi bencana bagi manusia
Semoga dengan Oncek Oncek Kawruh Sepolo ini kita sendiri dapat memberikan masukan kepada pemerintah daerah dan masyarakat agar mengupayakan  sumber / mata air kita dapat lestari bahkan kalau mungkin  menghidupkan kembali mata air yang telah mati atau bahkan berusaha  memuncul mata air baru yang  banyak.  ( WAS )
                                                                                                                                       Klaten 18 Januari 2011


Mikul Dhawet Sinambi Rengeng Rengeng


Mikul Dhawet Sinambi Rengeng Rengeng
Atau
Numpak Sedhan Nangis Nggriyeng

Oleh Wibowo Ari Subagio

“ Paguyuban “ Oncek oncek kawruh sepolo yang pada awalnya di ilhami oleh ceramah di kalangan wredatama kalangan Pemkab Klaten yang saat itu mengambil judul tentang Kesehatan Jiwa,  ternyata menarik perhatian untuk lebih di tekuni.

Beberapa pertemuan telah dilakukan. Semula melibatkan 5 orang yang memotori dimulainya proses oncek oncek ( mengupas ) kawruh ( ilmu pengetahuan ) sepolo ( sederhana ) terdiri dari Pak Ir. H.A.Tugiman Hadibroto, p.Ir. H.Riyo Darmanto, p.Ir. H. Puji Untung Surarso, p.Drs.Gatot Lelono dan p.YA.Effendi Slameto, ternyata pada akhirnya telah berkembang dengan 4 orang lagi pesertanya sehingga menjadi 9 orang yang terdiri dari kalangan wredatama maupun  akademisi meskipun coraknya adalah individu.
Dalam visinya, paguyuban oncek oncek kawruh sepolo ini bertekad untuk dapat melanjutkan cita cita pendiri bangsa ini untuk dapat memberikan bimbingan moral dan pengetahuan sederhana meskipun dalam lingkup kabupaten Klaten kepada generasi yang akan datang dengan diwujudkan dalam pengumpulan, penulisan  naskah atau catatan catatan budaya dan ilmu pengetahuanyang telah banyak dilupakan oleh kalangan muda sekarang, sehingga dapat terkumpul pustaka kawruh sepolo yang mampu memberikan bimbingan dan wewarah dalam membangun karakter bangsa.

        Dari awalnya telah dimulai dengan memamaparkan berbagai kawruh tentang kebudayaan ataupun yang lain tetapi masih belum dapat memenuhi hasrat untuk lebih terarah dalam proses oncek oncek ini, ditandai dengan keinginan para peserta untuk dapat lebih fokus dalam mengartikan istilah oncek oncek  kawruh sepolo tersebut

Menjelang pertemuan yang telah berjalan ke lima kalinya tepatnya pada tanggal 18 Nopember 2010 mendung  diatas kota Klaten saat itu semakin tebal, kilatan cahaya malam membelah bumi, jam baru menunjukan pukul 8 malam lebih sedikit. Sebentar lagi ketika Pak Margono Noto Pertomo memulai ”orasinya” suasana malam segera berubah menjadi hujan cukup deras.
Uraian malam itu cukup menarik perhatian semua yang hadir mengikuti pertemuan oncek oncek kawruh sepolo  yang disampaikan oleh pak Margono. Diawali dengan mengungkap pertemuan Empat Serangkai Bung Hatta, Bung Karno, Kyai Haji Mas mansyur dan Ki Hajar Dewantoro saat memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 1961 di Istana Negera jakarta.
” Bung Hatta, sebenarnya saya amat pekewuh kepada guru saya ” sela Bung Karno mengawali pertemuan itu. ” Siapa Bung ” sahut Bung Hatta. ” Ini Kangmas Soewardi Soeryaningrat dan Kyai Haji Mas Mansyur”.

Kyai Haji Mas Mansyur yang menjadi obyek pembicaraan Bung Karno pun menyahut       ” Bung Karno, kami jadi ingat akan pidato pidato anda. Saudara saudara, kita punya Sultan Agung Hanyokrokusumo, kita punya Pangeran Diponegoro , Tuanku Imam Bonjol, P.Antasari, P Umar, beliau beliaunya adalah tokoh tokoh sakti yang tinatah mendat jinoro menter, tan tedhas tapak paluning pandhe, sisaning gurinda – mengapa gagal ? Tidak mampu mengenyahkan Belanda dari Nusantara ?.

Bung Karno menjawab ” Kyai Haji Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantoro dan Bung Hatta, menurut pendapat saya berdasar pengalaman, Belanda tidak dapat dikalahkan oleh perlawanan kedaerahan ( sporadis ). Belanda tidak mungkin dikalahkan dengan  Tombak, Keris, Pedang, Mandau, Kelewang dan Rencong – tetapi – tombak, keris, pedang, mandau, kelewang dan rencong harus BERSATU  - satu karya, satu gawe ber Holopis Kuntul Baris – rawe rawe rantas malang malang putung – hee Kolonialis Belanda – Kekejero kaya manuk branjangan kopat kapito kaya ula tapak angin keno gebung Limpung Alugoro sirna ilang kuwandhamu ”.

Ki Hajar Dewantoro segera menyahut ” Betul kata kata Bung Karno, kalau aku ingat kata kata si Bung, semangatku jadi muda kembali ibarat aku Wasi Jolodoro jadi Kokrosono lagi he...he...he... Coba pidato Bung Karno tadi aku sempurnakan, bahwa kolonialis Belanda tidak saja dilawan dengan senjata, tidak dapat dilawan dengan wuleting kulit atosing balung, tetapi kolonialis Belanda harus dilawan dengan INTELEKTUAL, Belanda harus disikat dengan kepandaian pribumi, belanda harus dilawan dengan OTAK  Belanda harus dilawan dengan persatuan.

Bung Hatta pun menyahut ” Ya pendapat kalian semua itu benar, maka lihat Perguruan Taman Siswa, Perguruan Islam di Kayu Tanam oleh Kyai Haji Mas Mansyur, juga Perguruan ( Madrasah ) Muhammadiyah yang didirikan Kyai Haji Achmad Dahlan di Yogyakarta juga merupakan persemaian benih benih yang nantinya akan melahirkan tunas tunas bangsa siap melawan penjajah dengan Intelektual dan Otak ”.
Bung Karno, Kihajar dan Kyai Haji Mas Mansyur mengamini dan berdoa semoga Allah Yaa Robbi mengijabahi.

Kyai Haji Mas Mansyur ” Bung berdua aku jadi teringat kata kata Ki Hajar Dewantoro walaupun aku bukan orang Jawa tetapi aku selalu ingat pesan pesan Ki Hajar Dewantoro kepada cantriknya ( siswanya ) semboyan Taman Siswa adalah Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Sedang kepada cantriknya Ki Hajar Dewantoro selalu merendah Tindak pundi Raden ? – Pamulangan; Pados Napa Raden ? – kapinteran; Kangge Napa Raden ? – Panguripan. Kita Hidup layak syaratnya harus Pandai !

Ki Hajar Dewantoro mengajarkan para siswanya untuk menghadapi zaman yang tidak menentu saat itu dengan pilihan Angger (Thole) pilih endi ing antarane ” Mikul Dhawet Sinambi Rengeng-rengeng apa Numpak Sedhan Nangis Ngriyeng ”

Ternyata dialog Empat Serangkai itu merupakan Fondasi Pilar Jembatan Emas yang akan dibangun anak anak bangsa.

Bung Karno pribadi pernah berkata:
” Saya persoonlijk, saudara saudara merasa bahagia dapat pada waktu saya muda nglesot pada kakinya Ki Hajar Dewantoro. Saya termasuk pemuda yang bahagia dapat maguru kepada orang Indonesia yang besar, maguru kepada Kyai Haji Ahmad Dahlan, maguru kepada DR. E.F.E Douwes Dekker, maguru kepada dr.Cipto Mangunkusumo, maguru kepada R.M Soewardi Soeryaningrat yang kemudian bernama Ki Hajar Dewantoro”
( Pidato Bung Karno di Yogyakarta di Pagelaran Kraton Yogyakarta pada Pengukuhan DR HC Ki Hajar Dewantoro dalam Ilmu dan Kebudayaan oleh Universitas Gajah Mada tanggal 19 Desember 1956 ).

Dibarengi suara gemerisik hujan yang lebat malam itu pak Margono melanjurkan uraiannya . Pada zaman clash ke II ( Pendudukan Belanda atas Yogyakarta ) rumah Ki Hajar Dewantoro ( Majelis Luhur Taman Siswa ) dituduh sebagai sarang gerilya. Kolonel Van Langen dengan anak buahnya menggrebeg padepokan maka terjadilah dialog antara Kihajar Dewantoro dengan Kolonel Van Langen.
Kolonel Van Langen : ” Selamat pagi tuan Soewardi Soeryaningrat ”
Ki Hajar Dewantoro  : ” Selamat pagi, terima kasih atas kiriman kado ulang tahunku”
Kolonel Van Lengen menjawab : ” Apa itu kado? Ikke tidak pernah beri kado kepada tuan”. Ki Hajar menyahut : ”Itu lho teror bom yang dijatuhkan anak buah tuan untuk melebur Taman Siswa – Taman Siswa biar hancur, Taman Siswa biar musnah, namun alhamdulillah teror bom itu macet dan sudah kami jinakan, sekarang kami simpan sebagai memory kami bahwa tentara Belanda tak mengenal peri kemanusian, tentara tuan teroris biadab”.
Kolonel Van Langen menyatakan ” maaf, sekali lagi maaf tuan Soewardi. Terus terang kedatangan kami hanya meminta babntuan tuan agar ekstremis – ekstremis atau gerilyawan suruh menyerah / membubarkan diri, dia bikin ulah, menyerang kami diwaktu malam, dia keterlaluan, kurang ajar”.

Ki Hajar Dewantoro menyahut :” Tuan Van Langen, tentara kami bukan kurang ajar. Tentara kami mempertahankan diri karena tuan serang. Tentara tuan ngawur, setiap pembersihan orang orang sipil tak berdosa tuan tangkap, bahkan tuan bunuh sekiranya tuan anggap dia ektremis ( gerilya )”.

Kolonel Van Langen : ”Terus terang maaf, maaf jika tuan tersinggung. Saya – ikke – saya mohon bantuan tuan ”.

Ki Hajar Dewantoro : ” Itu soal mudah, saya akan bantu Tuan, syaratnya tuan bserta serdadu tuan secepatnya hengkang ( pergi ) dari Yogyakarta, sebab negeri kami berdaulat. Karena tuan memaksakan kehendak, terpaksa bangsda kami melawan ”.

Kolonel Van Langen dengan sikap sempurna dan senyum dikulum menjabat tangan Kio Hajar Dewantoro lalu pergi ke Banteng Vandenburg.

Pada bulan Februari 1959 Bung Karno bertemu dengan Ki Hajar Dewantoro, kemudian Bung Karno sambil medoakan agar Ki Hajar segera sembuh, Bung Karno juga menyatakan bahwa tenaga dan fikiran Ki Hajar Dewantoro masih di butuhkan oleh bangsa. Ki Hajar Dewantoro menjawab dengan tersenyum : ” Bung Karno, mungkin saya tidak lama lagi akan menghadap Allah SWT, hanya pesan saya, jangan dibiarkan berlarut larut rakyat menderita, bertindaklah lekas ”.
Ternyata pertemuan itu merupakan pesan terakhir Ki Hajar Dewantara, karena pada tanggal 26 April 1959 pukul 19.30 Ki Hajar Dewantara wafat.

Dari uraian yang disampaikan pak Margono itu ternyata memantik diskusi yang menarik dari para peserta sarasehan diantaranya yang dapat di rasakan adalah bahwa para tokoh pendiri era itu ternyata memiliki sikap yang kuat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Perlawanan terhadap penjajah, tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan fisik, kekuatan bersenjata semata mata , tetapi juga kekuatan Intelektual dan Otak.
Menurut Pak Ir.H.A.Tugiman Hadibroto, bahwa semua itu muncul karena Potensi Diri para tokoh itu begitu kuat sehingga menimbulkan pemikiran pemikiran dan ide ide yang jenius dalam mengupayakan kemerdekaan bangsa ini. Hal ini tidak lepas dari kemampuan Potensi Diri dalam mengolah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosinal dan kecerdasan spiritual.
Meski demikian muncul pertanyaan dari peserta diskusi malam itu yang terdiri dari 9 orang, mengapa generasi sekarang ini tidak dapat meneladani para pendahulu bangsa ini, hal ini ditandai dengan rendahnya kepekaan sosial dan politik para pemimnpin muda saat ini sehingga banyak perilaku yang memperoleh tanggapan negatif masyarakat ( rakyat ). Seperti contoh kepergian para Legislator kita berstudi banding ke Luar Negeri yang menimbulkan goncangan masyarakat yang sekarang ini tengah menderita kegundahan karena merosotnya moral, ekonomi dan politik.
Prof Sumitro mensinyalir adanya  ” missing link “ antara generasi tua dan generasi penerusnya, sehingga ada budaya atau sikap mental yang tidak nyambung. Banyak Kawula Muda yang lupa soal dosa, lupa soal kuwalat dan banyak contoh lainnya.
Demikian pula DR Esti menyentil apakah wewarah Ki Hajar Dewantoro itu masih relevan dengan kondisi sekarang ini,  mengapa pemimpin kita sekarang ini hanya ” diam ” meskipun kedaulatan kita setengah terancam oleh fihak asing. Hal ini nampak dalam bidang diplomasi luar negeri kita yang lemah bahkan boleh disebut diam ( meneng ).
Meski demikian dengan bergurau Pak Rio menimpali ” meneng iku luhur wekasane ” tetapi ini adalah sindiran halus ala pak Rio terhadap lemahnya sikap kita menghadapi fihak asing.
Pak Margono melanjutkan uraiannya bahwa  Ki Hajar Dewantoro dalam petuah petuah
(ajaran ajarannya) menyatakan dalam hidup ini  tidak ada yang langgeng atau abadi. Di dunia ini tidak ada yang sempurna, tidak ada yang abadi. Semuanya mengalami perubahan ( owah gingsir ). Ki Hajar menyatakan:

            = DURUNG MENANG YEN DURUNG WANI KALAH;
            = DURUNG UNGGUL YEN DURUNG WANI ASOR;
            = DURUNG GEDHE YEN DURUNG WANI CILIK.

Kalau manusia sudah pernah merasakan dan mengalami ketiga piwulang tersebut yaitu MENANG ATAU KALAH, KAYA ATAU MISKIN , GAGAL ATAU SUKSES maka akan menjadi bijaksana dalam kehidupannya, welas asih dan sabar serta ihlas dalam menalani kehidupan.

        Pak Margono mengutarakan prinsip prinsip pendidikan yang diciptakan Ki Hajar Dewantoro antara lain :
     Ngerti, Ngrasa lan Nglakoni

1.      Ngerti   diartikan mengetahui, mengerti persoalan dan sesuai dengan kondisi.
2.      Ngrasa, bias merasakan sesuatu benar atau salah, perasaan akan membimbing seseorang mencari jalan sesuai dengan nuraninya.
3.      Nglakoni, mampu menjalankan tugas, kehendak berdasarkan ngerti dan ngrasa,.

Prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantoro seluruhnya berintikan pembangunan karakter bangsa, bukan sekedar membuat orang pandai.

         Hujan mereda pertemuan pun di akhiri pada pukul 22.15 dengan harapan agar niatan membangun karakter bangsa khususnya di wilayah Kabupaten Klaten ini memproleh ridhlo Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

      


"Sukun" Guyub Rukun Lan Migunani


“ SUKUN “ Guyub Rukun lan Migunani mring Sasami

Oleh Wibowo Ari Subagio


            Sore menuju malam kurang lebih jam 19.30, dengan cuaca yang cukup bersahabat setelah Gn Merapi ber erupsi hebat, di sebelah selatan lapangan Joko Puring Klaten utara berlangsung sarasehan membahas rencana penerbitan sebuah buku berjudul Makna Ungkapan Bahasa Jawa.
Peserta yang  rata rata telah berusia diatas 60 tahun sebanyak 9 orang itu hadir semua. Sambil menikmati panembrama tuan rumah Pak Ir.Puji Untung Surarso bernada kinanthi dengan suaranya yang merdu membuat hadirin hening sejenak mkenikmati makna panembrama tersebut.
Tuan Rumah menyampaikan dalam tembang Kinanthi yang antara lain menyatakan selamat datang di padepokannya untuk ber sarasehan sebagaimana pernah dilakukan waktu waktu yang lalu. Di akhir panembrama itu Pak Untung menyatakan sarasehan itu diharapkan dapat membuat guyub rukun masyarakat serta hasil yang bermanfaat bagi siapapun. Hal ini di ungkapkan pula dengan cemilan yang penuh makna yaitu aneka cemilan terbuat dari buah Sukun..Baik di goreng maupun di godog, buah sukun ternyata sama nikmatnya. Sebuah cara pengungkapan ala Jawa yang penuh makna.

         Malam itu pertemuan mengambil thema membahas usulan rencana pembuatan buku Makna Ungkapan Bahasa Jawa yang di himpun dan ditulis oleh Ibu DR Esti. Dalam kata pengantarnya ketika itu bu Esti menyampaikan, bahwa ungkapan bahasa jawa yang mengandung pitutur luhur ( pelajaran budi pekerti bernilai tinggi ) sudah banyak di tinggalkan oleh Generasi Muda kita khususnya generasi muda Jawa. Dengan penerbitan buku ini nanti akan menjadi tanda sejarah bahwa para orang tua yang terwakili dalam sarasehan ini telah mendarma bhaktikan pemikirannya untuk mengingatkan kembali nasehat nasehat
(puitutur) para leluhur yang diharapkan dapat dihayati kembali dan dijadikan landasan moral bagi generasi muda. Nasehat nasehat merupakan ungkapan berbahasa Jawa dapat di sajikan dalam bentuk buku yang jarang diterbitkan, akan menjadi bacaan masyarakat yang dapat membekali masyarakat khususnya kembali kepada budaya dan tradisinya yang adiluhung.

         Membuka sarasehan itu Pak Ir Toegiman Hadibroto sebagai pangarsa (pimpinan) memberikan tanggapan positif dan memberikan dukungan. Sejalan dengan maksud di bentuknya sarasehan yang diikuti oleh 9 orang ini juga mengandung maksud untuk dapat berperan serta dalam pembangunan karakter masyarakat di Kabupaten Klaten khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ungkapan berbahasa Jawa menurut Pak Toegiman  tidak ketinggalan jaman  atau masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini bahkan harus lebih di kuat kan gaungnya sehingga masyarakat terlebih generasi mudanya dapat memahami bahasa Jawa dan tradisinya dengan mudah dan murah.

         Pada bagian berikut, dimulai dari Pak Margono Notopertomo, piyayi yang sering mengisi berbagai acara wayang kulit dan budaya jawa di berbagai radio memaparkan banyak hal berkaitan dengan makna ungkapan bahasa dari yang berawalan huruf A sampai dengan yang berawalan huruf  W. Cukup banyak materi yang dapat disumbangkan kepada penulis buku ( Ibu Esti ).
Dalam pembicaraan yang semakin menarik itu muncul berbagai usulan penyempurnaan diantranya dari Pak Ir. Riyo bahwa ungkapan bahasa jawa tersebut seyogyanya di awali dengan pengungkapan dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu. Menurut Pak Riyo, kemungkinan besar buku ini tidak hanya beredar di Klaten saja, tetapi juga dimungkinkan beredar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan menambahkan ungkapan dalam bahasa Indonesia menjadikan buku itu berdaya tarik tinggi untuk diminati masyarakat luas.
Pak YA.Effendi Slameto sebagai salah satu pemerhati bahasa Jawa juga menggaris bawahi diterbitkannya buku berbentuk nasehat dalam bahasa Jawa. Beliau berpandangan saat ini suasana kehidupan masyarakat yang semakin keras iramanya terkadang meninggalkan rasa sopan santun dan kehalusan tutur sapa, sehingga memunculkan kehidupan yang keras bak “ Asu Gedhe Menang Kerahe “ Oleh karena itu penerbitan buku buku yang mengandung filosofi, nasehat dan tradisi bernuansa kedaerahan khususnya Jawa akan sangat bermanfaat.

         Meskipun tidak bersedia di tampilkan namanya dalam rencana naskah Profesor Sumitro memberikan usul saran yang membangun berkaitan dengan rencana penerbitan Buku Unhkapan Makna Bahasa Jawa. Profesor Sumitro mengakui besarnya tanggung jawab moral dalam upaya penerbitan buku tersebut, sehingga beliau terpaksa tidak bersedia dicantumkan namanya sebagai penelaah.

         Untuk memberikan gambaran sebenarnya buku apa yang akan diterbitkan itu berikut ini disampaikan gambaran ungkapan Bathok Bolu Isi Madu  ternyata ungkapannya ternyata tidak sederhana. Kalau di terjemahkan maknanya ungkapan itu ternyata memiliki nasehat yang sangat bermanfaat. Makna ungkapan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :    Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti tempurung  bolu (bolongane telu) berisi madu.

Batok adalah istilah Jawa untuk menamai tempurung kelapa. Pada masa lalu tempurung kelapa sering digunakan untuk membuat berbagai perkakas, terutama perkakas dapur. Entah itu untuk dibuat irus (sendok sayur), siwur (gayung air), beruk (alat untuk menakar beras), mangkuk, maupun celengan. Pendeknya, batok digunakan untuk membuat alat yang fungsinya lebih pada menampung, mewadahi, atau menciduk.

Dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, alat-alat yang terbuat dari batok merupakan alat-alat yang dianggap biasa atau sederhana. Lain halnya dengan alat-alat yang terbuat dari logam. Melamin, plastik, maupun keramik. Alat-alat yang disebut terakhir ini dianggap merupakan alat-alat yang lebih berkelas sosial tinggi atau bergengsi. Batok bolu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa diartikan sebagai batok yang bolong telu (bermata tiga), sebab pada kenyataannya hampir semua batok atau tempurung kelapa memang memiliki tiga titik (lekukan sebesar kelereng) di bagian pangkalnya.

Pepatah Jawa di atas terbentuk atas rangkaian kata yang mengandung makna berkebalikan. Logikanya, batok tidaklah mungkin digunakan untuk menyimpan barang mewah atau barang berharga. Mustahil juga digunakan untuk menyimpan madu. Jadi, jika ada batok berisi madu, hal itu adalah kekecualian yang dalam bahasa Jawa disebut nyolong pethek.

Batok bolu isi madu secara luas ingin menyatakan bahwa orang yang kelihatannya sederhana atau biasa-biasa saja tetapi ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa atau kaya akan segala pengetahuan dan keterampilan. Dapat juga terjadi bahwa orang yang buruk rupa serta berpenampilan apa adanya tetapi tingkah laku dan budi pekertinya sangat mulia. Inilah yang disebut dengan batok bolu isi madu.

Demikian luhurnya budaya jawa. Betapa dalamnya makna ungkapan meski nampak kata yang sederhana tetapi mengandung arti yang sangat dalam terlebih untuk memberikan nasehat agar seseorang tidak menyombongkan diri, lebih baik sederhana etapi memiliki pengetahuan atau kekayaan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat di sekelilingnya. Umgkapan ungkapan sejenis itulah yang rencananya akan dibukukan sebagai persembahan generasi tua kepada penerusnya. Semoga bermanfaat amiin.
                                                                     
                                                                                                                             Klaten     Nopember 2010